Skip to main content

 

UU Cipta Kerja: Gambaran Umum

 

  1. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) telah resmi disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020. Undang-undang yang dibentuk dalam metode omnibus law ini berisi 11 (sebelas) klaster yang menggabungkan 79 (tujuh puluh sembilan) undang-undang yang di antaranya mengatur aturan tentang penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, hingga administrasi pemerintahan. UU Cipta Kerja diharapkan mampu untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional agar mendatangkan banyak investasi dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. MAGNAAR Legal Insights (MLI) ini akan membahas mengenai gambaran umum berbagai ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

 

  1. SISTEMATIKA PENGATURAN UU CIPTA KERJA

UU Cipta Kerja dibentuk dengan metode omnibus law yang isinya tidak hanya mengatur norma baru, tetapi juga mengubah, menghapus, atau mencabut beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan lain sekaligus. Beberapa undang-undang yang dicabut dan dinyatakan   tidak berlaku oleh UU Cipta Kerja di antaranya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinder ordonnantie).

UU Cipta Kerja dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja serta melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, ruang lingkup UU Cipta Kerja mengatur kebijakan strategis yang meliputi ketenagakerjaan, pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, dukungan inovasi, pengadaan tanah, dan sampai dengan pengaturan administrasi pemerintahan.

Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha merupakan hal pertama yang diatur dalam UU Cipta Kerja, meliputi:

a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko;

b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha;

c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan

d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Dengan adanya peningkatan ekosistem investasi ini, diharapkan membuka peluang peningkatan investasi asing dan pemerataan ekonomi di Indonesia.

 

  1. REZIM PERIZINAN

 

  1. Izin Usaha Berbasis Risiko

UU Cipta Kerja melakukan penyederhanaan perizinan berusaha dengan mengubah konsep izin kegiatan usaha (license approach) menjadi penerapan standar dan berbasis risiko (risk-based approach) berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. Penilaian tingkat bahaya dilakukan terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.

Berdasarkan penilaian tingkat bahaya serta penilaian potensi terjadinya bahaya, UU Cipta Kerja membagi kegiatan usaha ke dalam 3 (tiga) tingkat risiko, yaitu:

a) risiko rendah;

b) risiko menengah, yang kemudian dibagi lagi ke dalam 2 (dua) tingkatan:

    1. risiko menengah rendah; dan
    2. risiko menengah tinggi;

c) risiko tinggi.

Perizinan berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah berupa Nomor Induk Berusaha (“NIB”) yang merupakan identitas pelaku usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha, namun apabila dilakukan oleh Usaha Mikro Kecil (UMK) maka berlaku juga sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pernyataan jaminan halal. Sedangkan untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah, perizinan berusaha berupa NIB dan Sertifikat Standar (“SS”). SS merupakan pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha yang diberikan melalui sistem Online Single Submission (“OSS”). Sama halnya dengan menengah rendah, perizinan berusaha untuk kegiatan berisiko menengah tinggi berupa NIB dan SS, namun SS tersebut diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi.

Perizinan berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi berupa NIB dan izin. NIB hanya berlaku untuk persiapan kegiatan usaha. Untuk memperoleh izin, pelaku usaha harus melalui proses verifikasi memenuhi semua persyaratan termasuk memperoleh persetujuan lingkungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar, prosedur dan kriteria perizinan berusaha berbasis risiko diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.

 

  1. Deregulasi Perizinan Berusaha

Pengaturan terkait perizinan dan kegiatan usaha sektor dalam UU Cipta Kerja merupakan upaya reformasi dan deregulasi yang menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi informasi, di mana penerapan perizinan berusaha berbasis risiko yang mengubah pendekatan kegiatan berusaha dari berbasis izin ke berbasis risiko (risk based approach). Upaya deregulasi yang dilakukan yaitu dengan cara penyusunan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (“NSPK”) perizinan berusaha berbasis risiko dalam OSS yang menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan NSPK tersebut kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Ketentuan teknis NSPK diatur dalam peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Dengan adanya penyeragaman NSPK, maka akan menghindari serta menyelesaikan permasalahan tumpang tindih kewenangan perizinan pusat dan daerah yang menyebabkan sulitnya memproses perizinan bagi investor.

Konsekuensi atas penyeragaman NSPK perizinan usaha berbasis risiko adalah pemerintah daerah perlu merevisi sejumlah peraturan daerah terkait perizinan berusaha agar selaras dengan UU Cipta Kerja. Dengan demikian, standar pengurusan perizinan berusaha di seluruh provinsi, kota atau kabupaten di Indonesia akan sama sehingga investor dapat memperoleh kepastian kecepatan, kemudahan, dan transparansi proses perizinan berusaha di Indonesia.

 

  1. Rezim Perizinan Yang Tidak Diatur dalam UU Cipta Kerja

Tidak semua sektor kegiatan usaha diatur dalam UU Cipta Kerja. Perizinan yang tidak diatur dalam UU Cipta Kerja di antaranya sektor keuangan yaitu perbankan, pasar modal, dan asuransi. UU Cipta Kerja hanya mengubah sedikit ketentuan mengenai persyaratan pendirian perbankan dan perbankan syariah, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sektor perbankan, pasar modal, dan asuransi tetap mengacu pada peraturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dikarenakan industri keuangan merupakan highly regulated industry, sehingga perizinan usahanya perlu diatur secara khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

  1. Sanksi Pencabutan Izin Dan Konsesi

Sanksi pidana maupun sanksi administratif secara garis besar diatur sendiri-sendiri dalam masing-masing undang-undang sektoral dan/atau aturan turunan dari UU Cipta Kerja. Namun, UU Cipta Kerja mengatur khusus pengenaan sanksi pada beberapa kegiatan usaha antara lain konsekuensi hukum terhadap hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang terbengkalai. Apabila hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan, maka akan dicabut dan dikembalikan kepada negara. Begitu juga pada sektor kelautan, dalam hal pemegang izin usaha terkait pemanfaatan di laut tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut diterbitkan, pemegang izin usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya.

 

  1. Harmonisasi dan Sinkronisasi

Pada saat berlakunya UU Cipta Kerja, setiap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan UU Cipta Kerja atau peraturan pelaksananya, harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga legislatif terkait. Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian terkait atau lembaga legislatif terkait bersama dengan kementerian dalam negeri.

Dengan diundangkannya UU Cipta Kerja, perizinan berusaha atau izin sektor yang sudah terbit masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perizinan berusaha. Perizinan berusaha dan/atau izin sektor yang sudah terbit sebelum berlakunya UU Cipta Kerja dapat berlaku sesuai dengan UU Cipta Kerja. Sedangkan terhadap perizinan berusaha yang sedang dalam proses permohonan disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja wajib ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan. Pada tanggal 2 Februari 2021, pemerintah secara resmi mengundangkan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang terdiri dari 45 (empat puluh lima) peraturan pemerintah dan 4 (empat) peraturan presiden. Namun, sampai dengan MLI ini disusun, kami masih menemukan beberapa peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang belum disahkan, salah satunya terkait sektor jasa konstruksi yaitu Rancangan Peraturan Presiden Hak Keuangan dan Fasilitas Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Salah satu peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang krusial dan sudah diterbitkan adalah ketentuan mengenai Daftar Positif Investasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (“Perpres 10/2021”). Perpres 10/2021 menggantikan istilah ‘Daftar Negatif Investasi’ yang semula diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016. Terbitnya Perpres 10/2021 ini menimbulkan kontroversi dengan membuka investasi minuman keras yang dianggap terlalu luas. Pada akhirnya, tanggal 2 Maret 2021 Presiden Joko Widodo mencabut lampiran Perpres 10/2021 dan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Ini menunjukkan bahwa upaya harmonisasi dan sinkronisasi UU Cipta Kerja yang disusun dalam bentuk omnibus law tidak mudah dan penuh rintangan.

 

  1. KESIMPULAN

UU Cipta Kerja memberikan dampak secara substansial terhadap perekonomian Indonesia. Kehadiran UU Cipta Kerja dianggap oleh Bank Dunia berdampak positif karena regulasi merupakan upaya reformasi besar untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif. Penghapusan berbagai pembatasan dalam investasi dinilai sebagai sinyal positif bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis. Hal ini dapat membantu Republik Indonesia menarik investor asing guna menciptakan lapangan kerja dan membantu memerangi kemiskinan.

UU Cipta Kerja telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada eksekutif dalam membuat berbagai kebijakan dalam bidang perekonomian. UU Cipta Kerja juga mengubah secara mendasar rezim perizinan berusaha di Indonesia. Dengan adanya perizinan berusaha berbasis risiko, diharapkan akan menyederhanakan proses perizinan usaha di Indonesia dan menghilangkan ketidakpastian proses pemberian perizinan akibat adanya perbedaan persyaratan dan waktu pemrosesan perizinan di tiap-tiap daerah. Oleh sebab itu, harmonisasi dan sinkronisasi berbagai regulasi, baik dari pusat maupun di tingkat daerah, menjadi kunci dari efektivitas UU Cipta Kerja dalam meningkatkan lapangan kerja di Indonesia. Partisipasi dari para pemangku kepentingan juga sangat dibutuhkan dalam implementasi UU Cipta Kerja.

Apabila ada pertanyaan atau membutuhkan klarifikasi lebih lanjut tentang MAGNAAR Legal Insights (MLI) ini, dapat menghubungi tim kami:

 

Sahid Ramadian

[email protected]

Suci Hutajulu

[email protected]

Naila Syifa Arnita

[email protected]